Jakarta, CNBC Indonesia – Belum habis masalah perang Israel-Hamas, pecahnya konflik antara Iran dan Israel pada bulan ini menjadi eskalasi terbaru ketegangan geopolitik di Timur Tengah.

Ketegangan antarkedua negara yang masuk dalam jajaran kekuatan utama di Timur Tengah, memang telah berkembang selama puluhan tahun, meskipun tak pernah pecah menjadi perang dalam skala besar. Iran dikenal lebih memilih untuk menggunakan kelompok proksinya yang tersebar di wilayah tersebut untuk berkonflik langsung dengan Israel.

Namun, semuanya berubah menjadi konflik fisik antarnegara pada Sabtu (13/4/2024) kala Iran meluncurkan ratusan drone dan rudal ke wilayah Israel.

Gempuran militer Iran merupakan balasan terhadap serangan Israel terhadap konsulatnya di Damaskus pada 1 April 2024. Dalam serangan tersebut, tercatat tujuh petugas Garda Revolusi termasuk dua komandan senior dinyatakan tewas.

Israel memang tidak pernah mengonfirmasi serangan tersebut. Namun, Negeri Yahudi itu pun tidak membantah saat serangkaian tuduhan dilontarkan oleh berbagai negara.

Pasang Surut Hubungan Iran-Israel

Ketegangan yang terjadi kali ini berkebalikan dengan peristiwa sebelumnya. Sebelum tahun 1979 atau saat Republik Islam Iran belum berdiri, Iran-Israel merupakan sekutu mesra.

Ketika Israel diproklamirkan, banyak negara Arab yang mayoritas Muslim menentang pendiriannya. Salah satu cara untuk meredam tentangan tersebut adalah lewat kerjasama. Pada titik ini, Iran jadi salah satu negara yang menerima dengan tangan terbuka kerjasama Israel.

Di bawah kuasa, Mohammad Reza Pahlavi Iran akhirnya menyetujui proposal kerjasama diplomatik dengan Israel. Reza yang pro-Barat sedari awal telah melihat cerahnya masa depan Iran jika hubungan dengan Israel terjalin. Pasalnya, dia takut terhadap agresi Uni Soviet di Timur Tengah. Tidak menutup kemungkinan, sewaktu-waktu Iran terpengaruh oleh rezim komunis bawaan Soviet.

Jadi, sebagai upaya mencari bekingan, Iran menjalin hubungan dengan Israel pada 1953. Seperti dugaan Reza, hubungan bersama Israel membuat Iran menjadi ‘cerah’, khususnya dari segi ekonomi.

Marta Furlan dalam studi berjudul “Israeli-Iranian Relations” (2022) menjelaskan, beberapa kali Iran mendapat proyek menguntungkan hasil kerja sama Israel dan AS. Proyek ini lantas membuat pendapatan negara meningkat pesat. Selain itu, kedua negara juga saling terlibat di sektor militer.

Pada 1960-an, misalnya, kedua negara menganggap Irak sebagai ancaman bersama. Bahkan, secara terbukti membantu gerakan Kurdi yang memberontak di Irak. Tak hanya itu, keduanya juga sempat mengerjakan persenjataan rudal bersama.

Semua itu dilakukan selama lebih kurang 20 tahun, atau saat berulang kali terjadi aksi penindasan Israel terhadap Palestina, negara yang sangat dibela oleh negara Muslim di seluruh dunia.

Namun, kemesraan itu sirna pada 1979. Revolusi Iran membuat Reza Pahlavi terguling dari kursi kekuasaan. Revolusi itu juga mengubah Iran menjadi Republik Islam Iran yang sangat garang terhadap Israel dan AS.

Perang Proksi

Konflik atau perang – dengan skala yang masih sangat terbatas – antara Iran dan Israel kali ini juga kian memperjelas kubu-kubu yang terbentuk di Timur Tengah.

Sama seperti berbagai konflik geopolitik yang terjadi sebelumnya, terbentuk kecenderungan dua poros utama ‘pendukung’ Iran dan Israel, yakni Beijing dan Washington.

Baik China maupun Amerika Serikat (AS) tampaknya sepakat bahwa konflik dan ketegangan harus segera diredam. Namun, keduanya memiliki sudut pandang tersendiri terkait penyebab utama serangan Iran ke wilayah Israel pada akhir pekan lalu.

Apalagi, China dan AS sejauh ini masih berebut pengaruh di wilayah Timur Tengah yang baru-baru ini pun telah ditunjukkan dalam perang Hamas-Israel yang telah berlangsung selama 6 bulan.

Poros Beijing

China menilai serangan Iran ke Israel dilakukan sebagai respons atas serangan sebelumnya ke Kedutaan Iran di Damaskus, Suriah.

Menteri Luar Negeri (Menlu) China Wang Yi mengutuk keras dan dengan tegas menentang serangan terhadap gedung konsulat Iran. Ia menyebut China menganggapnya sebagai pelanggaran serius terhadap hukum internasional dan tidak dapat diterima.

“China menghargai tekanan Iran untuk tidak menargetkan negara-negara regional dan tetangga serta penegasannya untuk terus menerapkan kebijakan bertetangga yang baik dan bersahabat,” tutur Wang mengutip Xinhua.

“Diyakini bahwa Iran dapat menangani situasi ini dengan baik dan menghindari kekacauan lebih lanjut di kawasan sambil menjaga kedaulatan dan martabatnya sendiri.”

Sama seperti China, Rusia, yang secara tradisional selalu berseberangan dengan AS, juga menggunakan sudut pandang yang sama terkait konflik tersebut.

Moskow menyinggung bagaimana serangan terjadi karena kurangnya resolusi untuk menyelesaikan berbagai krisis di Timur Tengah. Terutama, tegas Rusia, di zona konflik Palestina dan Israel.

“Ini akan menyebabkan pertumbuhan ketidakstabilan,” tegas pemerintah.

Sementara itu, mengutip TASS, Wakil Tetap Rusia untuk PBB juga memberi respons atas kecaman PBB ke Iran.

Vasily Nebenzya menyebut pertemuan darurat Dewan Keamanan (DK) PBB mengenai serangan balasan Iran terhadap Israel sebagai “parade kemunafikan dan standar ganda” Barat. Hal ini mengacu pada tindakan Israel terlebih dulu yang menyerang konsulat Iran.

“Anda tahu betul bahwa serangan terhadap misi diplomatik adalah casus belli berdasarkan hukum internasional,” katanya menyebut alasan serangan Iran ke Israel.

“Dan jika misi Barat diserang, Anda tidak akan ragu untuk membalas dan membuktikan kasus Anda di ruangan ini. Karena bagi Anda, segala sesuatu yang menyangkut misi Barat dan warga negara Barat adalah suci dan harus dilindungi,” sindirnya.

“Saat ini, Dewan Keamanan menyaksikan parade kemunafikan Barat dan standar ganda yang bahkan agak tidak nyaman untuk disaksikan,” tambah diplomat itu.

Poros Washington

Di sisi lain, AS dan sekutunya menilai tindakan Iran menyerang wilayah Israel merupakan pangkal eskalasi ketegangan saat ini.

AS menyatakan tak ingin konflik ini meluas, namun jelas menempatkan diri di belakang Israel dalam konflik yang secara lebih luas dapat melibatkan China dan Rusia.

Presiden AS Joe Biden pada Sabtu mengutuk “sekeras-kerasnya” serangan udara Iran yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap fasilitas militer di Israel.

“AS akan tetap waspada terhadap semua ancaman dan tidak akan ragu mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk melindungi rakyat kami,” kata Biden, seperti dikutip CNBC International.

Sudut pandang serupa juga diungkapkan para pemimpin Eropa juga mengecam serangan Iran terhadap Israel dan berjanji berupaya meredakan situasi.

“Saya mengutuk keras serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang dilancarkan Iran terhadap Israel, yang mengancam akan mengganggu stabilitas kawasan,” kata Presiden Prancis Emmanuel Macron pada Minggu di platform media sosial X.

“Prancis sedang berupaya melakukan deeskalasi dengan mitranya dan menyerukan untuk menahan diri.”

Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock pada Sabtu juga mengatakan Jerman sangat mengutuk serangan tersebut dan memperingatkan bahwa hal itu dapat “menjerumuskan seluruh kawasan ke dalam kekacauan.”

“Iran dan proksinya harus segera menghentikan hal ini. Israel mendapat solidaritas penuh kami saat ini,” kata Baerbock melalui X, menurut terjemahan NBC.

Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak mengatakan juga mengutuk “dengan tegas” serangan Iran yang “sembrono” terhadap Israel, dan menambahkan bahwa negara tersebut akan “terus membela” keamanan Israel.

“Iran sekali lagi menunjukkan niatnya untuk menabur kekacauan di wilayahnya sendiri,” kata Sunak dalam sebuah pernyataan. “Bersama sekutu kami, kami segera berupaya menstabilkan situasi dan mencegah eskalasi lebih lanjut. Tidak ada yang ingin melihat lebih banyak pertumpahan darah.”

Prancis dan Inggris diketahui membantu mencegat beberapa serangan Iran terhadap Israel pada Sabtu.

[Gambas:Video CNBC]



Artikel Selanjutnya


Bukan AS, Cina atau Rusia, Israel Paling Takut Negara Ini


(luc/luc)




Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *